Lapak Baca Perdana; Menjaga Lilin Gerakan Literasi


Kata orang Amerika Serikat, time is money. Setiap waktu yang dilewatkan itu berharga. Mungkin Anda punya tafsir sendiri, misal, tidak ada waktu tanpa menghasilkan uang. Tetapi, bagaimana apabila waktu yang kita lalui tidak menghasilkan uang dan benda-benda, namun sangat berharga sekali? Itu lah yang saya rasakan sedari sore.

Betapa bahagia mengerjakan sesuatu yang sia-sia. Aneh? Silahkan kalau Anda ingin menuduh saya gila atau sedang terjebak khayalan.

Entah, ada angin dari mana, tiba-tiba, ba’da Magrib saya mengemasi buku-buku ke dalam kardus. Dan menyelipkan satu banner. Sejurus saya mengangkat kardus itu, lumayan besar, tapi cukup dijepitkan di sela antara stang dan jok. Tak ketinggalan, saya ambil kontak dan kaca mata. Ini perlu, karena kalau malam, penglihatan acap nge-blur. Dan motor pun distarter, mesin meraung-raung, dan gas!

Memang, saya mau kemana? Tidak perlu dijelaskan, bukan kah ini pekerjaan sia-sia kan. Ikuti saja alurnya.

Dari MT. Haryono, saya menukik ke Dr. Cipto, terus melaju kencang hingga ke Taman Singosari. Saya amat-amati di sana, gelap, sepi, dan suwung. Hanya ada satu dua orang, itu pun sendiri-sendiri dan memainkan HP mereka masing-masing. Wah, ini jelas tidak asyik. Lantas saya beralih gas ke Simpang Lima. Berpusing-pusing di situ. Memang ramai, banyak hilir mudik manusia, berjejer sepada lampu (atau sepeda odong-odong?), dan di tengahnya ada tenda besar (kayaknya untuk acara besok; Festival Kuliner). Kayaknya menarik kalau di situ, tapi karena kebisingan lalu-lalang kendaraan. Saya urungkan.

Dari Simpang Lima langsung saya tancap gas ke Taman Indonesia Kaya, sambil lalu berharap menemukan spot yang cucok. Kalau tidak ketemu juga, mending pulang saja, lagian ini kan pekerjaan sia-sia. Katanya, time is mone, ya bukan? Nah, sesampai di sana, terlihat hilir mudik manusia. Kadang bapak-ibu beserta anaknya, kadang sepasang kekasih (atau sepasang jomblo?), dan kadang orang sendiri sedang duduk atau berjalan entah apa yang dicari. Kendaraan yang melintas di sekitar taman juga tidak se-semberawut di Simpang Lima tadi. Wah, kalau ini pas, pakai banget.

Sempat, saya berimajinasi, eh, bagaimana ya kalau nanti diciduk Satpol PP dan diadukan ke polisi? Ah, tapi rezim sekarang kan tidak seperti dulu yang hobi sita-menyita. Atau, bagaimana apabila tidak disita tapi diobrak, mungkin akan mengganggu pemandangan dan mengotori keindahan taman? Bisa jadi. Tapi, nekat saja. Diusir tinggal diangkuti saja. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur. Wong, ini juga pekerjaan sia-sia, saya tidak merasa dirugikan, justru, menurut saya si pengusir lah yang jelas akan merugi.

Saya membuka kardus dan membeber banner. Beberapa buku saya keluarkan, di antaranya; Melihat Diri Sendiri karya Gus Mus, All Men are Brothers karya Mahatma Gandhi, Seni Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson. Supaya tidak terkesan bukunya tinggi-tinggi, kalangan terbatas yang mengakses, saya tambahkan buku komik Donald Duck atau biasa dikenal Donal Bebek. Eureka! Jadilah “Lapak Baca”.



Menjaga Lilin

Dua tahun silam, saya bersama teman-teman di kampus acap menggelar lapak baca serupa. Kami di sana menamakan kegiatan itu dengan; Perpustakaan Jalanan. Setiap Rabu sore kami menggelar lapak baca di kampus. Karena di kampus, pengunjungnya dosen, mahasiswa, dan civitas akademika lainnya. Sesekali, sambil jaga lapak, kami mengadakan diskusi buku. Setiap anggota digilir untuk mendaras; menceritakan dan menjelaskan isinya. Kemudian anggota yang lain  turut menimpali. Terjadilah diskusi yang menarik.

Apa yang menyebabkan kami bisa menggelar lapak baca? Tentu bukan semata terlihat suka baca. Dan bukan pula kepanikan atas rapor jeblok Indonesia atas tingkat literasinya. Dalam laporan Unesco, 0,01% pembaca di Indonesia. Artinya, per-100 orang, hanya 1 orang yang mau membaca. Ada pula laporan yang menyebutkan Indonesia berada di ranking atas, tapi dalam hal “minat” baca. Kalau minat, tidak perlu diragukan lagi. Misal, membaca pesan berantai WA grub, berlama-lama baca timline, dan status-status, itu juga minat. Tidak heran, karena durasi orang Indonesia bermedsos sampai  hampir 3 jam dengan total 130-150 juta pengguna medsos.

Jujur saja, tidak ada latar belakang yang sedemikian kritis itu sehingga kami berinisiatif membentuk satu komunitas; Friend’s Literasi. Pada gilirannya membuahkan agenda Perpustakaan Jalanan dan diskusi buku. Kami cuma berangkat dari rasa pertemanan yang sering bersua dan berkumpul. Dari pada membuang waktu untuk olah vokal saja -- dan kebetulan sama-sama penyuka buku. Lebih baik menggeser sedikit, mengalihkan ke hal yang lain. Kami memilih jalan; gerakan literasi.

Selepas hijrah ke kota kelahiran; Semarang. Nyaris saya tidak punya teman. Bagaimana tidak? Bayangkan 10 tahun studi di Jawa Timur (Jombang-Surabaya), jarang pulang, dan kalau pun pulang jarang keluar. Toh, juga mau kemana? Akhirnya, tiba-tiba terkuak semangat untuk gelar lapak baca lagi. Memang dengan siapa? Jelas sendiri. Tidak minder? Kan, sudah saya jelasin sedari awal, ini pekerjaan sia-sia, jadi tidak perlu dibuat nervous. Cuma sedikit deg-deg-an. Sama saja artinya.

Sempat saya mengunggah foto sederet anggota Friend’s Literasi pada story WA. Sejurus mendapat tanggapan, dari Yusuf alias Ucup alias Awang. Katanya, “Kelak, di Unusida akan aku teruskan!” Sedikit menambah daya gedor semangatku.

Sambil menunggu lapak baca, saya menjumput buku Kata-kata Membasuh Luka karya Martin Aleida. Cerpenis yang dingin sekaligus murung. Ia merupakan penyintas tragedi ’65. Nah, di dalam buku yang aku baca ini, berisi kumpulan cerpen dari pengamatan, kesaksian, dan pengalaman batinnya saat pembantaian terbesar di Indonesia terjadi. Bisa jadi ini mengalahkan pembantaian dalam perang antar kerajaan, serta Belanda dan Jepang terhadap pribumi. Beberapa orang terlihat berjalan di depan lapak, saya pura-pura tidak tahu. Fokus membaca. Itu kebiasaan kami di Friend’s Literasi, sebab kami bukan jualan, jadi tidak perlu orasi. Gerakan kami, gerakan penyadaran, bukan pemaksaan, apalagi penipuan.

Beberapa menit berlalu, tidak ada yang menghampiri. Sedikit ada rasa cemas.

Di tengah membaca, ada seorang lelaki kurus dan pendek, mendekat. Ia berdiri di depan lapak dan melihat-lihat judul buku. “Mas,” katanya, saya berhenti membaca dan mencabut earphone yang menyumpali telinga, “Sudah membaca semua bukunya?”. Dari gaya bicaranya, sepertinya bukan orang Semarang. “Sudah,” jawab saya. Kemudian, saya tunjukan satu buku karangan sendiri. “Ini, tulisan saya sendiri, Mas,” kata saya. “Oh ya!” Kemudian ia menjumputnya. Dan membuka-buka lembaran. “Sejak kapan Masnya nulis?” Terlihat akan terjadi obrolan berpanjang kali lebar, saya persilakan ia duduk di bangku, bersebelahan dengan saya.

Pembaca Pertama

 Namanya Jefri, tidak tahu lengkapnya. Ia merupakan perantau dari Malili, Sulawesi. Sudah sejak 2016 di Semarang. Kira-kira 3 tahun mencecap aroma dan mengenali gurat serta garis wajah orang-orang di ibu kota Jawa Tengah ini. Di kota atlas ini, awalnya ia kerja sebagai administrasi kantor. Setahun menjalani kerja, ia terbersit ingin kuliah. Dan sekarang ia sudah semester 4 dengan jurusan Akuntasi Komputer (akuntasi digital) di Akademi Manajemen. Di tempat perantauan ini ia tinggal bersama bibinya.

Kami berbicara banyak hal. Dari membicarakan buku hingga bercerita bagaimana ia masuk ke Semarang dan kecemasannya sebelum memutuskan lepas landas. Saya juga jelaskan, bahwa baru beberapa bulan kembali ke tanah kelahiran. Tidak sadar, saking asyiknya sampai melebar pada pembahasan ketuhanan. Dari situ saya tahu, ia penganut Kristen. Kita pun bertukar pemikiran ajaran masing-masing. Beruntung, pernah baca-baca filsafat, saya rada-rada bisa mengikuti penjelasannya ketika ia mengutip salah satu ayat dalam Matius. Saya teringat Thomas Aquinas tentang The City of God.

“Mas, sudah lama gelar lapak baca?”

“Baru perdana sore ini, dan sampean pembaca pertama hehe.”

Kami pun ber-swa foto. Ia memegang selembar kertas bertuliskan, “Lapak Baca”.



Waktu menunjukkan pukul 21:00. Tadi ia sempat menceritakan, kalau jam kerjanya mulai pukul 08:00. Tidak enak hati kalau sampai menyempitkan waktu istirahatnya. Tidak bisa disamakan dengan profesi saya sebagai pengacara alias pengangguran banyak acara. Kita pun berpisah. Beruntungnya kita sudah bertukar nomor HP. Sewaktu-waktu bisa saya hubungi, pada waktu gelar lapak baca lagi. Dan hari ini saya mendapat kabar baik lagi, teman saya bertambah lagi. Syukur.

Entah, akan saya namakan apalagi gerakan ini. Apakah tetap Friend’s Literasi? Atau lainnya. Yang jelas, saya bersyukur, dan bahagia, mengerjakan sesuatu yang sia-sia tapi berharga sekali ini.

0 Komentar