Ketika Peci Saya Miring

Ngopi di kebun sekitar Tebuireng Jombang di pagi hari rasanya, sueger. 


Kalau dicek di setiap saya berpeci, rata-rata dalam posisi miring. Setiap saya menata peci supaya lurus dengan garis hidung, pasti beberapa saat kemudian akan kembali; miring. Itu terjadi setiap saya membetulkan letak peci setelah saya lepas ketika berwudhu atau saat kepala saya sedang gatal-gatalnya karena lama tak disampoi.

Peci yang miring seperti itu, ketika dikenakan di kepala begitu nyaman. Tetapi, memang, kalau dilihat dari depan akan terlihat menceng. Memang sudah demikian adanya bentuk kepala saya sehingga posisi miring lah yang paling terenak dipakai.

Bagi sebagian orang mungkin, melihat peci miring saya akan mengira kalau keliru atau terburu-buru memasangnya. Namun mereka tidak tahu bahwa posisi miring itu paling yahut. Kalau seandainya saya bisa bertukar kepala dengan mereka, maka saya berkeyakinan mereka akan merasakan kenyamanan seperti yang saya rasakan.

Pernah merasa gaya berpeci saya buruk, tidak seperti umumnya. Tetapi kalau dicermati ternyata bukan cuma saya seorang yang suka berpeci miring. Ada rentetan genealogisnya. Sebut saja, Mbah Buyut saya, R. TMG. Tafsir Anom. KH. Ach. Djailani Ma’nawi pun ternyata juga berpeci miring. Menurut penuturan Gus Abdul Karim, guru ngaji Presiden Joko Widodo, Mbah Buyut amat mengidolakan Bung Karno sehingga berpeci pun meniru gaya Pemimpin Besar Revolusi itu.

Selain Bung Karno, orang yang saya tahu berpeci miring itu, seperti Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan Subhan ZE. Coba Anda berselancar di mesin pencari, maka Anda akan disuguhi sederetan gambar keduanya yang mengenakan peci dengan kemiringan kisaran 30-40 derajat.

Dari Bung Karno, Gus Dur, dan Subhan ZE. Rata-rata mereka memiliki pemikiran dan tingkah laku yang kontroversial. Semisal Bung Karno pernah menuliskan pemikiran pribadinya tentang Islam dalam buku Islam Sontoloyo.

Dalam buku tersebut, Bung Karno mengkritik perilaku kaum agamawan yang masih eksklusif. Belum mampu menyentuh ranah sosial hingga politik dan kebudayaan. Semisal, Bung Karno pernah mempermasalahkan tabiat orang Islam yang reaktif kalau mendapati sesuatu yang haram, seperti memakan babi, prostitusi, maupun miras. Tetapi begitu permisif terhadap realita sosial, seperti kemiskinan.

Begitu pula dengan Gus Dur dan Subhan ZE yang tak kalah kontroversial. Seperti Gus Dur sebagai kiai yang nyentrik, pernah diberi penghormatan oleh kaum gerajawan, menjalin diplomasi dengan Israel, sampai mengatakan DPR merupakan kumpulan anak-anak TK. Belum lagi Subhan ZE. Kendati ia salah seorang pengurus PBNU, tetapi ia punya kebiasaan yang khoriqul adah; main ke diskotik dan berdansa. Walau berkali-kali dipecat dari kepengurusan PBNU, namun berkali-kali pula diangkat kembali karena keilmuan dan jaringannya yang dibutuhkan saat itu.

Saya tidak hendak menyamakan diri dengan ketiga orang berkaliber itu. Hanya cara berpecinya saja yang agak-agak mirip. Tetapi kalau boleh jujur, dalam benak saya pernah terbersit sesuatu. Hal ini sudah meresahkan saya sejak tahun terakhir di pesantren dan awal kuliah.

Awal mulanya dari sebuah pertanyaan sederhana, sejak kapan saya masuk Islam? Bukan berarti saya ragu akan Islam, namun mengapa saya tidak diberi pilihan dulu? Misal, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha.

Pertanyaan tersebut sampai sekarang belum pernah terjawab – saya pun tidak ngotot untuk menjawab. Namun pertanyaan itu terlintas begitu saja dan berputar-putar di sirkuit kepala saya.

Misal ada jawabannya, saya tak butuh jawaban yang argumentatif dan ilmiah. Cukup jawaban yang sederhana saja, padat, dan kalau perlu dibumbui kejenakaan. Semisal jawabannya begini; kan dalam beragama tidak perlu mengisi formulir dan menandatangani pakta integritas bermaterai 6000.

Jawaban yang argumentatif nan ilmiah justru malah menambah sangsi. Bagaimana tidak? Jawaban ilmiah pasti bergantung kepada bukti. Bagaimana bisa mendapatkan buktinya? Dalil? Bukan kah kalau dalil itu masuk dalam ranah keimanan bukan keilmiahan? 

Dan seumpama sebuah dalil bisa diilmiahkan tentu bukan dalil yang berkaitan ubudiyyah tetapi mu’amalah. Kalau dalil ubudiyyah diilmiahkan agaknya wagu sekali. Seperti kenapa sholat Magrib tiga rokaat? Kenapa tidak dua atau empat saja? Tentu ini pertanyaan yang aneh.  

Kan Rasul SAW pernah menganjurkan agar berfikir pada ciptaan Allah dan melarang berfikir bentuk (dzat) Allah. Oleh karena itu, saya tidak hendak memaksa menjawab pertanyaan “sejak kapan saya masuk Islam?” Karena saya sudah merasa cukup pertanyaan itu menjadi bahan renungan saya. Supaya tidak mudah merasa ber-Islam, karena Islam yang saya anut belum tentu benar dan sesuai dengan ajaran Rasul SAW dan para sahabatnya.

Mungkin peci yang miring berkolerasi dengan otak yang miring pula. Tapi, tak masalah, masih mending, belum gila, asal bukan topi miring cap orang tua. Eh, maaf, nggak nyambung.

1 Komentar