Aku dalam pelukan Umik yang hangat.. |
Di rumah, Bobi hidup dengan Neneknya. Setiap hari ia membantu kegiatan Nenek. Dari mulai memasak, mencuci, dan mengantarnya ke pasar. Kesemua itu ia lakukan karena keadaan. Bukan dorongan hati.
Keadaan yang mengantarkan dalam kondisi yang jauh dari yang ia harapkan. Ketika teman sejawatnya turun ke jalan memprotes kebijakan pemerintah yang acap mencekik rakyat, ia hanya mampu melihat mereka dari layar ponsel, atau surat-surat kabar.
Jikalau ada adik tingkat yang menanyakan keberadaannya. Ia menjawabnya dengan getir. Sebuah getir yang sebenarnya sederhana. Tapi karena tak kunjung ditemukan penawarnya, akhirnya menjadi racun yang menjalar ke seluruh syaraf tubuhnya.
Ingin ia membantu mereka. Bersama berjibaku. Menantang panasnya matahari. Basah oleh keringat. Dorong-dorongan dengan polisi yang tak pernah diajari caranya tersenyum. Polisi yang gemar menghadang dengan pentungan dari pada dengan pelukan. Polisi yang tak punya pikiran dan hati.
Sementara ia hanya di rumah. Seperti mahasiswa-mahasiswa yang suka dia cemooh karena predikat kupu-kupunya -- alias kuliah pulang. Bobi malu pada dirinya sendiri. Di saat teman, bahkan adik tingkatnya, menentang penindasan. Ia sendiri malah tidak dapat memperjuangkan keadaannya pada taraf minimum; merdeka.
Sepekan dua pekan. Bobi memulai untuk beradaptasi dengan dunianya yang baru -- hidup serumah dengan Nenek. Ia merasa harus menerima nasibnya sebagai cucu yang sudah ditinggal kedua orang tuanya dan kini masih tersisa seorang orang tua: Nenek. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Harus dijalani.
Bobi mencoba mengakrabkan diri dengan Neneknya. Namun itikad baik Bobi ternyata bertolak belakang. Neneknya selalu berwajah ketus dan bersungut. Ia pun merasa tak memiliki kesempatan menjadi bagian dari hati si Nenek.
Terkadang ia tercenung. Mungkin si Nenek memang perangai dan corak wajahnya ketus. Tetapi, terkadang Bobi pernah melihat si Nenek bisa tertawa terbahak-bahak dan saling meledek dengan temannya. Dan ketika Bobi mencoba mengajak bergurau, entah, tanggapan si Nenek selalu serius -- alih-alih tidak sopan.
Belakangan hari, Bobi tahu ternyata keketusan si Nenek dikarenakan wajahnya mengingatkan pada mantan suaminya. Kakek kandung Bobi. Si Nenek punya kenangan tragis hidup bersama suaminya dulu. Ia trauma, dan khawatir bahwa cucunya akan mengulang keburukan sang Kakek.
Tiada hari tanpa mengenang keburukan mantan suami Neneknya. Entah, apa yang membuatnya begitu trauma sampai berpuluh tahun sudah terpisah -- bahkan hingga Kakek kandung Bobi itu saat ini sudah meninggal.
Bobi tipikal pemberontak. Namun ia bisa menahan amarahnya. Setiap kali si Nenek berkata... "Kamu mirip sama Kakekmu!" Kata si Nenek dengan bola mata yang nyaris keluar. Ia hanya diam dan menunduk.
Padahal Bobi merasa dirinya bukan seperti Kakek -- yang konon pemalas, mistik, dan pengangguran. Aku adalah aku, demikian katanya dalam hati. Walau ia selalu menjalankan pesan Neneknya, seperti bangun pagi, berkata sopan, membersihkan rumah, dan bekerja. Tapi semua itu tak pernah membekas -- minimal sebagai penanda bahwa ia berbeda dengan Kakeknya.
Sempat Bobi merasa sia-sia berbuat apa saja. Tidak akan dapat membuat Neneknya -- setidaknya mengembangkan senyum yang tulus. Alhasil sejak itu ia memutuskan untuk selalu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan "dawuh" si Nenek.
Jikalau si Nenek bilang supaya bangun pagi, maka Bobi akan bangun siang. Kalau Nenek berpesan rumah harus selalu dalam keadaan bersih, maka cucunya ini akan melakukan yang sebaliknya. Membiarkan kotor dan berantakan. Ia sempat takut kalau si Nenek bertambah marah, tapi lama kelamaan karena ia sering dimarahi -- sampai Bobi sendiri tidak tahu mana yang benar dan salah dari dirinya -- tak lagi gentar sedikit pun.
Biasanya, kalau si Nenek mengolok dirinya. Dengan ungkapan sarkas dan rasis. Seperti bodoh, pahpoh, holaholo, durhaka, dan bermasa depan suram. Pasti akan beringsut dan gemetar. Kali ini sungguh tidak sama sekali. Justru dengan berani dan percaya diri Bobi ingin menunjukkan bahwa dirinya memang bodoh, pahpoh, durhaka, dan bermasa depan suram. Tentu dengan dada membusung.
Si Nenek melihat gerak-gerik cucunya yang mulai berani dan semakin jauh dari kendalinya. Ia memarahi Bobi dengan membabi buta. Si Nenek mengingatkan bahwa ia di sini hanya numpang, tak ubah seperti nge-kost. Hanya saja tidak dipungut biaya. Cuma, harus mengikuti aturan main si Nenek.
"Kau harus ingat, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Camkan itu!" Demikianlah kalimat andalan si Nenek.
Alih-alih insyaf dan nurut pada si Nenek, Bobi semakin membangkang. Hingga suatu ketika si Nenek tak mau diajak bersalaman dengan cucunya. Bobi pun tak masalah dengan sikap angkuh si Nenek. Bobi malah bersuka cita. Karena tak perlu lagi ketika ia hendak keluar rumah harus mendapat caci maki dari si Nenek.
Sikap seperti itu terus dipertahankan si Nenek sampai ia jatuh sakit. Beberapa kali baik Bibi maupun Paman mengingatkan Bobi supaya berbaik-baik dengan Neneknya. Bobi hanya mengiyakan tapi tak pernah sama sekali menurutinya. Bobi malah menunggu-nunggu kapan ia akan diusir dari rumah -- suatu hari raya yang dinantikan Bobi sepanjang masa ia mendekam di rumah. Itu lah hari kebangkitannya -- meskipun begitu pilu.
Sakit si Nenek tak kunjung sembuh sampai tiba ajalnya. Semua menangis ditinggal si Nenek. Kecuali Bobi.
Selang seminggu kepulangan si Nenek. Bobi didudukkan Paman dan Bibinya. Ia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya yang membuat Ibu mereka meninggal. Tak lain karena sakit hatinya pada Bobi. Sejenak Bobi ketakutan, semua mata menyorotinya dengan tatapan nanar. Namun, entah, ada sebuah keberanian yang agung menyelusup ke dalam sanubarinya...
"Sungguh, aku sudah menduga akan terjadi hari seperti ini. Kalian pasti menuduhku. Aku tak sama sekali kaget, apalagi gentar!" Kata Bobi yang membuatnya terusir dari rumah mendiang si Nenek saat itu juga.
Dengan sebuh ransel yang terkaing-kaing pada salah satu sisi pundaknya Bobi menyusuri sebuah jembatan. Ia melihat ke bawah, begitu tenang aliran air sungai menuju ke muaranya -- laut. Dalam hati, ia mendambakan kehidupan yang tenang, setenang aliran itu. Ia pun melompat...
Beberapa saat kemudian, semuanya menjadi gelap. Lalu, ia terbangun.
Di depannya ia melihat si Nenek yang takjub menyadari kedatangannya -- seperti ketika awal Bobi lahir sebagai seorang bayi. Serta merta si Nenek memeluk dirinya. Di saat didekap peluk si Nenek ia juga melihat Kakeknya, bahkan Bapak dan Ibunya tersenyum lalu berhamburan memeluk Bobi dengan hangat.
Semarang, 13 Mei 2020
0 Komentar