“Kalau sudah ada waktu luang, pergilah ke
desa Johor, dan temui aku,” begitulah pesan Mbah Hasan yang
terngiang-ngiang di benak Hamid. Ia merasa amat tertolong karena batu yang Mbah
Hasan berikan. Batu itu bisa menyingkirkan gerombolan begal yang hendak menyabetnya
dengan sabit saat melintas jalan Barata. Batu yang lebih mirip dengan berlian
itu telah menghindarkannya dari kematian.
Sebelum
pergi, Hamid pamit kepada istrinya, Fatimah, yang saat itu masih meninabobokan bayi
perempuannya. Wajah Fatimah cemberut ketika suaminya pamit pergi, “Sudah
kukatakan, mending di rumah saja,” ujarnya melarang Hamid.
Bukan
kali pertama Fatimah melarang pergi, di mana ia meyakini bahwa lelaki tua yang
menolong suaminya merupakan khayalan. Sebab, tak hanya Hamid orang yang pernah
melihat makhluk halus itu. Hamid masih saja menyangkal dan bersikukuh bahwa
lelaki tua itu nyata.
“Dia itu
nyata,” sahut Hamid lalu menyambar jaketnya yang tergantung di balik daun pintu.
“Kamu yakin
ke Mbah Kramat?” tanya Fatimah lalu bangkit dari kasur ketika bayi perempuannya
telah terlelap. “Hati-hati, Sayang....”
“Sayang...”
sergah Hamid, “bukan Mbah Kramat tapi Mbah Hasan.”
Fatimah
masih tidak meyakini bahwa yang Hamid maksud itu Mbah Hasan, melainkan Mbah
Kramat. Konon, Mbah Kramat itu lelaki tua yang tergolong dari bangsa lelembut,
makhluk halus, arwah gentayangan, bahkan hantu. Sementara Hamid yang pernah
bertemu langsung tak melihat tanda-tanda bahwa lelaki tua yang pernah
menolongnya merupakan makhluk halus dari jenis apapun.
“Sebentar,”
ujar Fatimah sambil berjalan ke arah dapur.
Tak
selang lama, Fatimah keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi yang ia
letakkan di atas lepek. Kopi yang masih mengebulkan asap itu Hamid seruput.
Sementara Fatimah memandangnya cemas dan diam-diam terus mengharap supaya
suaminya menguburkan niatnya. Segera Hamid habiskan kopi itu hingga tinggal
ampasnya. Kemudian ia beranjak dari kursi.
Dengan
bibir yang manyun, Fatimah mencium tangan Hamid melepasnya pergi. Hamid
mengelus kepala istrinya dengan lembut, seraya mengatakan, “Bentar, ndak lama
kok.” Fatimah diam mengangguk. Lalu Hamid menyetarter varionya, memanasi
mesinnya sebentar. Cuaca masih menyisakan mendung dan hujan rintik-rintik
setelah sebelumnya deras mengguyur.
“Sayang,”
ucap Fatimah, “bawa mantel, kan?”
Hamid senyum
mengangguk sambil menepuk jognya.
*
Hamid
memacu pelan sepeda motornya melintasi jalanan yang licin, ia berhati-hati.
Selintas ia teringat saat pulang dari rumah seorang kawan meminjam uang untuk
biaya bersalin istrinya. Saat itu ia tak sadar sudah larut malam, jarum jam
menunjukkan pukul 12 malam, dan itu jam-jam rawan. Rawan sekaligus mengkhawatirkan
kalau-kalau ada begal di sepanjang jalan Barata. Jalan yang membelah hutan yang
dibalak oleh perusahaan penambangan.
Dulu,
merupakan pamali kalau melintas di jalan Barata saat malam, karena Mbah Kramat
sebagai penunggu hutan acap menampakkan diri. Pengendera sering terkejut dan
histeria saat Mbah Kramat menampakkan dirinya dalam rupa yang paling
mengerikan. Hanya, tak ada korban atau yang meninggal akibat penampakan Mbah
Kramat yang menakutkan itu. Tak ada. Pun Mbah Kramat tak merasuki pengendara
yang berlalu-lalang.
“Kamu
yakin malam-malam begini?” tanya Kamdun kala itu, “mending nginap di sini
dulu.”
Hanya,
akhir-akhir ini cerita horor Mbah Kramat tak terdengar santer lagi (untuk tak mengatakan
hilang sama sekali) seiring gencarnya perusahaan membalak hutan. Banyak petani
hutan yang kehilangan matapencaharian, karena perusahaan merampas lahan sawah
mereka. Protes mereka gencarkan namun hanya membentur meja-meja kekuasaan yang
macet. Kemudian suara-suara mereka tak terdengar. Wajah-wajah mereka yang
semula ramah berubah marah. Pemuda-pemuda mereka yang bermuka manis menjadi
sadis.
“Sepertinya
bukan Mbah Kramat lagi yang menakutkan,” kata Hamid menukas kawannya.
“Lalu,
siapa?”
Sebagian
petani-petani hutan yang kehilangan lahannya, tak tahu harus beralih profesi
apa lagi, atau mengolah apa lagi. Satu-satunya yang mereka andalkan, bahkan
sejak nenek moyangnya, adalah bertani. Ya, hanya bertani. Ketika kebutuhan
semakin mendesak, arit mereka yang lama mendekam, harus terhunus akhirnya.
Bukan untuk menyabit rumput, padi, dahan pohon, tapi manusia....
“Begal,”
jawab Hamid datar.
Namun
tidak mungkin Hamid menginap di rumah Kamdun, karena Fatimah tengah hamil tua. Bahkan
untuk meninggalkan istrinya sendiri untuk keperluan yang amat mendesak ia
merasa berat sekali. Tak sanggup membayangkan istrinya merintih menahan sakit
sendiri. Maka, tengah malam itu juga ia harus pulang....
Berbekal
jaket tebal Hamid memacu sepeda motornya dengan kencang, tak peduli dengan
kabut dan dingin angin malam yang masuk sampai ke tulang. Di depan matanya
terus terbayang sosok istrinya yang tidur sendiri. Bayangan sosok istrinya
terus menggayut di benaknya hingga ia tak sadar di depannya, tepat di tepi
jalan, ada seorang lelaki tua. Lampu motornya menyorot lelaki tua itu yang
berpakaian dan sorban serbaputih. Ia melambaikan tangan ke arahnya.
Sontak
Hamid menekan tuas rem. Sayang, ia lebih dulu menekan tuas rem depan, ban
motornya selip, ia pun tergelincir, dan jatuh ndelosor menyusuri tanah. Sosok lelaki tua itu muncul di atasnya
dan mendudukkannya perlahan. Lalu, lelaki tua itu mengelus-elus punggungnya dan
seraya berkata, “Hati-hati, Mas....” Hamid hanya meringis menahan sakit di
lengan tangannya sambil memandang lelaki tua itu yang berwajah ramah. Wajahnya dipenuhi
rambut. Cambang, kumis, dan jenggot putih keperakan. Perawakannya seperti salah
satu sunan Walisanga.
Sebentar
kemudian, Hamid bangkit dan mendirikan motornya. Ia meminta maaf pada lelaki
tua itu karena nyaris menabrak kalau tak hati-hati, lalu ia menaiki motornya,
dan bersiap melanjutkan perjalanan. Si lelaki tua itu berjalan menyusul di
belakangnya.
“Mas,
saya boleh menumpang sampai ke desa Johor?”
Hamid
diam memandang lelaki tua itu sejenak.
“Tak
apa-apa kalau tidak berkenan, Mas,” sambung lelaki tua itu.
“Mbah,
siapa?”
“Hasan.”
Lalu,
Hamid diam lagi.
“Sampean sudah ditunggu istri di rumah,”
ujar lelaki tua yang bernama Hasan itu, seketika Hamid terkejut. “Tapi, bawalah
batu ini, kalau merasa was-was segera jatuhkan saja ke jalan.”
Lelaki
tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya dan menyerahkan kepada
Hamid. Hamid pun menengadahkan kedua tangannya menerima batu tersebut. Agak
lama ia memandang batu yang lelaki tua itu berikan, bentuknya tidak seperti
batu biasa. Berkilau, bening, dan keras, seperti batu-batu yang pernah ia lihat
di toko perhiasan. Benaknya lalu menakar betapa mahalnya kalau batu itu dijual.
Hamid
kembali memandang lelaki tua itu untuk mengucapkan terimakasih.
“Mbah,”
sapa Hamid, “Mbah Hasan, nggih?”
“Iya,
Mas?”
“Silakan,
Mbah,” ujarnya, “saya antar sampai ke rumah....”
“Tak
usah, Mas, sungguh tak apa-apa.”
“Silakan,
Mbah....”
“Istri sampean sudah menunggu, lebih penting sampean utamakan,” ujar Mbah Hasan.
“Cuma, aku berpesan, kalau ada waktu luang, datanglah ke desaku, desa Johor,
temui aku.”
Di
tengah perjalanan, bukan lagi sosok istrinya yang terbayang di benaknya,
melainkan batu pemberian Mbah Hasan. Sekilas muncul keinginan untuk menyimpan
batu itu dan menjualnya. “Harganya pasti tinggi sekali, bisa untuk biaya
persalinan Fatimah, dan sekaligus mengembalikan uang pinjaman dari Kamdun,”
batinnya sambil senyum dan dadanya mekar.
Saat
menyusuri jalan Barata, di belakangnya ada sepeda motor yang melaju cepat. Ada dua
orang. Mereka berjaket hitam, bergerak cepat menyusul Hamid. Spontan ia sekuat
tenaga memacu varionya, namun kecepatannya tak lebih dari 100-110,8 km/jam.
Sementara pengejarnya menggunakan motor yang lebih bertenaga dan tentu paling
cepat. Semburat cahaya lampu kian terang memantul di spionnya, artinya sepeda
motor itu kian dekat.
Dada
Hamid nderedek tak karuan. Selintas teringat
pesan Mbah Hasan kalau merasa was-was segera jatuhkan batu tersebut. Namun,
pesan itu segera mendapat tangkisan dari pikirannya; eman-eman lo menjatuhkan batu yang bernilai tinggi. Batin Hamid
berkecamuk sekaligus cemas tak karuan karena dua orang lelaki itu kian mendekat. Lelaki
yang duduk di belakang sudah mengacungkan sabit ke udara.
“Berhenti
atau mati!” pekik lelaki yang bersiap menyabet Hamid.
Ketika
empat orang itu memepet dari kanan Hamid, ia sudah merasa tak ada pilihan,
kecuali menjatuhkan batu itu. Tangan kirinya bergerak cepat merogoh saku dan
mengambilnya. Lalu, ia jatuhkan ke jalan. Batu itu jatuh ke jalan dan memantul-mantulkan
cahaya. Mata dua orang lelaki sejurus beralih ke batu itu. “Mandek, mandek, mandek!” pekik salah seorang mereka. Sayang, motor mereka sudah melaju terlalu
cepat sekali, dan ketika ngerem mendadak.... Bruuuuaaaakkk!
*
Di depan
Hamid berdiri sebuah gapura DESA JOHOR. Ia sudah sampai di desa tempat Mbah
Hasan tinggal. Kemudian ia bergerak pelan memasuki desa itu sambil melihat
suasana desa yang asri. Banyak pepohonan, ada pohon mangga, rambutan, jambu,
dan kelapa. Belum lagi bunga-bunga di halaman warga yang indah dan tumbuh
subur.
Hamid
melihat ada seorang perempuan paruh baya sedang menjemur pakaian di depan rumahnya.
Ia berhenti dan memarkir sepeda motornya di tepi jalan. Kemudian ia melepas
helemnya dan berjalan mendekati perempuan paruh baya itu. Saat Hamid mendekat
perempuan itu segera menyampirkan sebuah kaus di jemuran.
“Bu,
rumahnya Mbah Hasan di mana ya?”
“Mbah
Hasan siapa ya, Mas?” tanya perempuan paruh baya itu sambil berpikir, mungkin
sedang menghapal seluruh nama tetangganya. “Mbah Hasan Jati, Mas?”
“Kurang
tahu, Bu,” jawab Hamid, “saya kenal namanya Mbah Hasan saja.”
“Di sini
tidak ada namanhya Mbah Hasan, Mas,” ucap perempuan itu setelah berpikir keras,
“adanya Mbah Hasan Jati.”
“Di mana
ya, Bu, rumahnya?”
“Sudah
meninggal, Mas.”
“Kapan,
Bu?” tanya Hamid spontan.
“Sudah
lamaaa, Mas,” sahutnya.
Selintas
Hamid ingin menjelaskan kalau ia pernah bertemu Mbah Hasan dan selamat atas
bantuannya. Selamat dari kejaran bagal jalan Barata. Namun, ia mengurungkan
niatnya itu.
“Sebelum
saya lahir pun, sepertinya, Mbah Hasan Jati sudah seda,” sambung perempuan paruh baya itu.
Gayamsari, 29 November 2020
Sumber Gambar: https://tfamanasek.com/mengenal-sosok-ulama-sekaligus-imam-besar-imam-muslim/
0 Komentar