Dok. mojok.co |
Gara-gara saya membaca tulisan mantan jurnalis Tempo, Farid Gaban, berjudul Filipinisasi Politik Indonesia di Facebook. Dalam satu atau dua paragraf Farid membandingkan partai-partai Indonesia yang kesemuanya bertumpu pada sosok atau figur atau "fuhrer", kecuali PKS.
Oleh karenanya, dalam kesempatan yang berbahagia ini, saya bisa menyarankan kepada Anda yang baru belajar dan menggeluti organisasi. Wajib hukumnya Anda magang di PKS. Cobalah Anda mengajukan permohonan ke DPP PKS atau minimal DPD di kota atau kabupaten tempat Anda berada. Ajukan diri magang menjadi staf kantor atau tukap lap kaca. Saya pastikan Anda akan mendapat insight baik atau paling tidak ketenangan batin.
O ya, sebelum jauh panjang kali lebar saya tulis, perlu kita bedakan mana organisasi mana partai. Kalau partai sudah jelas organisasi, namun organisasi belum tentu partai. Pembedanya adalah pada visi dan misi organisasi tersebut. Meski pada rezim Orde Baru memberlakukan asas tunggal Pancasila. Namun, banyak organisasi terus melakukan diferensiasi terhadap organisasi lain. Ambil contoh, NU dan PKB (he-he-he).
Dan, karenanya kita perlu membedakan mana politikus dan mana organisatoris. Tidak semua organisatoris ialah politikus. Politikus harus paham aturan organisasi dan atau kadang tak perlu paham-paham banget -- dengan dalih diskresi. Maka, politikus bisa membuat hancur organisasi, atau malah memajukannya. Sementara organisatoris tidak dua-duanya. Organisatoris bergerak teguh menjalankan AD/ART dan job desk.
Kita bisa berkaca dari Sandiaga Uno buat membedakan mana organisatoris dan politikus. Setelah Sandi pindah ke PPP dengan kedudukan Bapilu atau Badan Pemenangan Pemilu. Gerak Sandi sungguh dahsyat, bahkan Ketua PPP pun kalah grusak-grusuk. Misal, perintah Jokowi pada Sandi membangun komunikasi dengan PPP-PKS-Demokrat. Manuver tersebut Sandi lakukan di luar sepengetahuan Mardiono, di mana Sandi juga mewacanakan pasangan Sandi-AHY, membuat sang ketua partai Ka'bah ini akhirnya memanggil Sandi.
Di luar pantas atau tidaknya Sandi melakukan manuver tanpa sepengetahuan Ketua PPP. Memang patut saya maklumi. Terkadang dan sering kali tidak saya temukan batas dan instrumen yang jelas dalam partai. Partai bergantung pada perolehan suara, sangat tidak mungkin PPP (dan partai Islam lain) mencegah supaya orang di luar pemeluk Islam memilihnya. Tidak peduli siapapun pemilihnya, suara mereka bakal terkonversi jadi angka. Tidak ada nilai tambah lain kecuali kalkulasi agregat.
Rupanya, statement Mardiono saat bergabungnya Sandiaga Uno di PPP, "Mohon maaf sekarang saya jadi atasan Pak Sandi lho, hehe. Kalau selama ini saya dengan Pak Sandi bermitra, mitra kerja tetapi hari ini mohon maaf mulai hari ini, besok saya bisa nyuruh-nyuruh Pak Sandi nih," cuma Sandi artikan sebagai gojekan.
Baik, PKS dalam konteks kerangka ini saya memandangnya lebih sebagai organisasi. Partai ini keren, walau saya berbeda pandangan soal ideologi politik yang PKS anut. Namun, tata cara dan tata kelola organisasi PKS, dalam hemat saya, sangat layak organisasi-organisasi lain contoh. Terlepas PKS tak pernah jadi partai pemenang ya.
Saya sebagai orang awam serta cuma penonton saja, memandang PKS ini termasuk organisasi yang solid. Pengalaman saya saat nyaleg di Partai NasDem untuk pencalonan DPRD Kota Semarang, banyak saya mendapat wanti-wanti. Di antara jangan coba-coba dekati "kandang banteng" dan basis PKS.
Saya bengong, wanti-wanti yang agak aneh, bagaimana mungkin partai bisa mengapling wilayah tertentu sebagai "hak veto"-nya. Saya meyakini tidak masuk akal mengklaim masyarakat di wilayah tertentu adalah pemilih paten bagi suatu partai. Rakyat bukan tanah yang bisa dikapling dengan surat sertifikat. Dalam sebuah TPS tidak mungkin bisa 100% mendukung partai tertentu. Kalau pun bisa namun berapa persen partisipasi pemilih dari total DPT? Sekali lagi, bagi saya tidak ada sesuatu yang mutlak.
Saya pun tanya balik, "Mengapa? Apakah ada larangan tertulis?"
"Tidak ada. Tapi kalau sampean mau menjajal menyisir, ya silakan. Kalau tidak ditolak ya tidak bakal dipilih," ungkapnya dengan nada ketus.
Karena yang bicara ini adalah koordinator tim sukses saya, maka saya tak punya pilihan kecuali manut. Mau bagaimana pun pikiran saya yang menjalankan di lapangan adalah dia. Bisa-bisa saja saya menyisir sendiri. Namun tentu saja bakal kelimpungan menerima hantaman sana-sini.
Pemilih PKS cenderung tetap dan tentu solid. Di tengah era keterbukaan dan banjir informasi, PKS seperti bisa membangun ruang kedap suara bagi kadernya. Kalau dulu pas masih kuliah, saya pernah dengar, PKS punya sistem kaderisasi sel. Saya menganalogikannya seperti tingkat organisasi kehidupan. Setidaknya ada 10 tingkatan, diantaranya: biosfer, ekosistem, komunitas, populasi, individu (organisme), sistem organ, organ, jaringan, sel, dan molekul. Maka, tata kelola PKS sampai menyentuh di tingkatan sel, bahkan molekul.
PKS tidak hanya membangun ekosistem sampai komunitas saja. Mereka sanggup merawat organisasi sampai ke tingkat sel dan molekul. Bisa kita bayangkan, kira-kira Presiden PKS tahu berapa jumlah kader secara rigit. Tidak mengawang-awang atau pakai bilangan pembulatan yang cenderung klaim sepihak dan manipulatif. Misal, kalau jumlah kadernya ada 1,999,234 orang, elit-elit partai acap menyederhanakannya dengan 2 juta orang. Pun barangkali PKS tahu betul pergerakan kadernya, tidak hanya nama, alamat, dan nomor Wasapnya, tapi juga tahu sedang ngapain sekarang, bahkan lagi mikirin apa? Semua terdeteksi, apalagi sekelas pembangkang Fahri Hamzah, eh.
Nah ini masih pandangan saya sebagai penonton. Namun bagaimana yang terjadi di dalam PKS?
Sebelum ke sana, saya menyinggung dahulu, genealogi PKS, akar kemunculan dan pertumbuhannya dalam mewarnai belantika perpolitikan Indonesia. Benih kemunculan PKS sudah sejak sebelum Reformasi. Ada dua akar kemunculan PKS: Masyumi dan Ikhwanul Muslimin (IM). Pernah seorang pemikir Islam, Yusuf Qardhawi, mengatakan: PKS merupakan perpanjangan tangan dari gerakan IM Mesir yang mewadahi komunitas terbaik kalangan muda intelektual yang sadar akan agama, negeri, dunia, dan zamannya -- kendati PKS tidak pernah membenarkan atau melegitimasi pernyataan tersebut (sumber: Ikhwanul Muslimin dan Gerakan Tarbiyah di Banten dan Kota Batam, karya Ahsanul Khalikin, di Jurnal Multikultural dan Multireligius Vol. 11, Hal. 62).
Setelah Masyumi dibubarkan oleh Sukarno dan sempalan kadernya melebur ke PPP setelah fusi. Jaringan-jaringan sel mereka bangun di bilik-bilik masjid kampus. Terbentuklah KAMMI yang mewadahi mahasiswa. Kemudian, mereka merangsek menguasai Lembaga Dakwah Kampus (LDK), hingga tak jarang juru kunci masjid kampus adalah jaringan KAMMI atau gerakan Tarbiyah. Tak cukup sampai disitu, mereka melebarkan jaringan infiltrasinya hingga ke Pengurus Bimbingan Rohani Islam disingkat ROHIS di SMA-SMA.
Biasanya gerakan mereka tidak benar-benar bombastis seperti melakukan aksi jihad bahkan terorisme. Di kampus dan sekolah, jaringan ini mengingatkan hal-hal kecil. Semisal salat tepat waktu, tidak boleh berpacaran kalau bukan mahram, sampai larangan merokok. Sepele bukan? Namun kadang berkembang, seperti mengikuti fesyen-fesyen ala Timur Tengah, berjenggot, bercelana cingkrang, hingga mengganti umpatan jancok menjadi astagfirullah atau masyaallah tabarakallah. Weleh-weleh.
Sebenarnya saya senang kalau punya teman dari kelompok salafi, saya membayangkan mereka murah senyum, lembut, ramah, dan begitu pengertian. Namun, sayang, saya belum pernah punya teman karib seperti mereka. Bayangkan, Anda memiliki teman yang baik dan pendengar yang telaten, seneng, kan?
Konon, kaderisasi PKS tak hanya sekadar melakukan infiltrasi di sekolah dan kampus, bahkan mereka membangun lembaga pendidikan itu sendiri. Lembaga yang biasanya punya ciri khas nama "Islam Terpadu" dan berkembang secara masif. Meskipun tak jarang ada lembaga yang menggunakan nama "Islam Terpadu", namun tidak terafiliasi dengan PKS.
Baiklah ingin saya katakan, PKS ini begitu masif dan juga tertib administrasi. Administrasi di sini tak hanya soal surat menyurat, laporan, dan dokumentasi. Namun dalam membangun gerakan politik pun mereka amat administratif. Itulah yang membuat PKS memiliki basis kekuatan massa yang patut diperhitungkan, setara dengan partai PDIP. Hebatnya, di tengah era keterbukaan informasi politik, di mana partai-partai tidak mungkin lagi menyembunyikan basis kekuatan mereka di wilayah mana saja, setiap orang bisa membaca peta PKS namun mereka gagal menjebol pertahanan PKS.
Berkaca dari fenomena politik, tatkala Anies Baswedan tiba-tiba memutuskan Cawapres yang akan mendampinginya adalah Muhaimin Iskandar, PKS tidak bisa langsung memutuskan tetap lanjut di Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau mundur. Dalam kondisi genting seperti itu, bahkan Presiden PKS tidak memiliki prerogatif politik. Ia masih perlu menunggu keputusan dari Dewan Syuro. Berbeda dengan Demokrkat, begitu Anies Baswedan berbeda haluan, mereka segera menggelar rapat Majelis Tinggi yang disiarkan secara live.
Menariknya, Dewan Syuro ini tidak berpatokan pada salah satu atau segelintir orang saja, namun perwakilan dari seluruh Indonesia. Jadi sulit membaca arah politik PKS meski tidak jauh-jauh, kalau tidak kubu A ya pindah ke kubu B asal masih mendapat dukungan kader. "Kader" menjadi kata kunci memahami PKS, namun kader ada banyak, banyak sekali, punya beragam pemikiran dan latar belakang, namun PKS mampu menyatukan meski tak selalu dapat menyamaratakan. Tentu saja.
Walhasil, saya sarankan bagi Anda yang baru belajar berorganisasi atau yang sudah pengalaman namun jumbuh menonton akrobat-akrobat politik di internal, tidak ada salahnya, tidak ada haram-nya, Anda magang dulu di PKS. Minimal sebagai staf kantor atau tukang sapu, maka saya pastikan tidak ada yang Anda peroleh kecuali ketenangan dan kekhusyukan.
Semarang, 3 September 2023
0 Komentar