Dok. @kendraparamita |
Tempo hari seorang rektor universitas di Jember mengunggah status di lini Beranda, "Dua klan paling berpengaruh dalam kontestasi Islam dan politik hari ini: Bani KH. Bisri Musthofa, Rembang dan Bani KH. Bisri Syansuri, Denanyar, Jombang." Dua klan ini tidak ia hubungkan dengan NU, namun Islam dan politik hari ini. Kerangka yang ia bangun ini menarik, apakah untuk menghindari friksi dalam tubuh jam'iyah, atau sengaja mebabarkan dua kekuatan politik Islam Indonesia kontemporer?
PBNU sejak semula dipimpin Gus Yahya tegas menolak terlibat aktif (atau bahkan menautkan) di dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang. Gagasan ini sudah muncul mengemuka sejak Muktamar di Lampung. Bahkan Gus Yahya memberi batas antara NU dan PKB. Ada demarkasi yang tajam. Untuk sebuah alegori atau sebenarnya alergi? Sudah sulit membedakannya.
Sementara GP Ansor (Fatayat dan Muslimat belum saya ketahui pandangannya) menyerukan supaya teguh memegang Khittah NU dan Pedoman Berpolitik Warga NU, sebagaimana perintah dalam isi surat yang PP GP Ansor kirim ke semua cabang. GP Ansor tentu seirama dengan PBNU dalam hal ini. Seirama baik dalam kancah kelembagaan pun di balik panggung.
Dua sikap ini tentu menantang dengan konsekuensi, NU tidak akan berada di pihak poros manapun. Tidak ada adagium lagi NU selalu mendapat bagian "cuci piring", selepas pesta pora para elit dan perang suksesi yang membara. NU tidak lagi umak-umik terhadap dinamika dan apapun hasil Pemilu. NU teguh di jalur pendidikan dan kemasyarakatan. Oleh karenanya NU tidak akan mengarahkan dukungan bahkan memberikan kriteria spesifik pemimpin untuk warga NU pilih.
Dari unggahan rektor di salah satu universitas Jember tersebut, bolehkah saya katakan, PBNU dan GP Ansor mewakili klan Bani KH. Bisri Musthofa? Sementara dari klan Bani KH. Bisri Syansuri berada di bagian komunitas yang warna (dan kadang seteru) di dalamnya. Silang pendapat ini terpolarisasi dari Keluarga Gus Dur dan Muhaimin Iskandar -- meski dari kedua ini ada irisan lain dari Syaifullah Yusuf.
Saya mengecualikan Syaifullah Yusuf, atau Gus Yusuf, dalam konteks kerangka kekuatan politik Islam Indonesia kontemporer ini.
Saya sebut Keluarga Gus Dur lantaran Keluarga Gus Dur tidak mewakili kesatuan sikap yang solid. Sebagian memilih jalur politik praktis dan sebagian lain memilih gerakan sosial non-partisan. Berbeda dengan Muhaimin Iskandar -- hingga detik ini --, saya belum menemukan ketidakbulatan sikap dari Keluarga Muhaimin setiap menyambut tahun politik. Meski Muhaimin dan Syaifullah Yusuf berbeda jalur politiknya namun keduanya tidak terlibat seteru dalam friksi yang tajam.
Maka, bolehkah saya sebut klan Bani KH. Bisri Musthofa mengusung gagasan moderasi dalam politik, sedangkan klan Bani KH. Bisri Syansuri teguh memperjuangkan politik di medan perjuangan?
Kedua klan ini bisa satu sikap dan kadang bisa saling berseteru. Ketika berhadapan dengan gerakan radikalisme dan intoleransi, saya yakin kedua klan ini dapat bersatu -- meski cara penyikapan satu sama lain bisa saja tidak sama. Akan tetapi berkaitan politik praktis, keduanya bahkan masing-masing per-orang bisa berbeda.
Keluarga Gus Dur memiliki trauma masa lalu "penyingkiran Gus Dur dari PKB", dan sampai sekarang sulit terobati. Hantu yang membayangi setiap ajang kontestasi Pemilu lima tahunan. Hantu yang selalu bergentayangan menuntut keadilan pada sejarah. Keluarga Gus Dur berpegang pernyataan Gus Dur terhadap Muhaimin, "Imin ora iso dijarno," itu sebagai wasiat bahkan kredo politik.
Setiap kali Muhaimin Iskandar melontarkan pernyataan, Gus Dur mengudeta dirinya selama itu pula Keluarga Gus Dur lantang bersuara. Seperti pernyataan di unggahan Instagram Jaringan Gusdurian.
Di unggahan tersebut saya urun komen, mengenai tulisan "Bapakku bukan Perekayasa Konflik", yang menurut hemat saya kurang lengkap. Tulisan yang dibuat 2013, sudah 10 tanun lamanya, itu sebaiknya diperdalam dan diperinci lagi. Bukan luapan kemanusiaan belaka. Perlu dibabarkan konteks secara utuh. "Konflik PKB" harus diletakkan dalam kerangka konteks: politik praktis, administratif, dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya, meletakkannya dalam ranah: adab, keilmuan, dan kekeluargaan. Kalau memaksa memandang dari segi itu, bagi warga NU kultural dan tidak kecipratan darah biru kedua klan tersebut ya bakal cuma menenggak pahit empedunya.
Tak selang lama, dari komen tersebut, saya banyak mendapat hujatan, sebagian menuduh saya tidak membela Gus Dur, dan sebagian menganggap saya terlalu netral. Saya jelas tidak akan membela Gus Dur, namun dukungan moril, sebab Gus Dur mengatakan yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Sejak awal saya meletakkan isu "Konflik PKB" sebagai isu politik, bukan isu kemanusiaan. Dan saya merujuk lagi pada pernyataan Gus Dur bahwa yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.
Terlebih, Gus Dur meninggal dunia pada 2009 silam di tengah perseteruhan dengan Muhaimin Iskandar. Sehingga pernyataan atau penilaian Gus Dur pada Muhaimin, menurut hemat saya, masih koma (,) belum sampai titik (.). Sehingga saya tidak sepakat menguarkan kembali "Konflik PKB", dalam konteks percaturan politik masa kini yang sulit sekali bertaut lagi.
Toh, isu kepartaian sesahih apapun tetaplah isu elitis, bukan? Kira-kira apa dampaknya untuk kemanusiaan yang lebih luas lagi?
"Konflik PKB" secara tak langsung setali benang merah dengan sikap PBNU yang tidak ingin NU diklaim oleh kelompok PKB Muhaimin -- meski Muhaimin sudah mendeklarasikan tidak melibatkan NU secara kelembagaan. Sikap PBNU ini rasional, karena tidak ada partai yang secara manifes dan historis berani mengklaim NU kecuali PKB. Tidak ada yang bisa membantah kerekatan hubungan NU-PKB kecuali oleh pendulum sejarah.
Akhiru kalam, dari sekelumit konfigurasi politik Islam Indonesia yang kian alot dan tajam, perebutan suara NU setiap Pemilu senyatanya, kalau boleh saya sebut begini, dan tanpa mengurangi rasa takzim saya: cuma sekadar perseteruham antarklan bani?
Pahlawan, 11 September 2023
0 Komentar