NAKAL SEJAK DINI LEBIH BAIK

Dok. @kendraparamita

Baiklah kali ini saya berterus terang pada Anda, berbanggalah bagi Anda yang terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Lebih-lebih kalian yang beruntung lahir dari keluarga politikus. Misal, kakek Anda seorang DPR RI, ibu Anda seorang Bupati, ayah Anda pengusaha pengepul proyek tipis-tipis dari keluarga, eh pemerintah maksudnya. 

Setidaknya Anda memiliki jaminan hidup dari lahir sampai kira-kira tua nanti -- itu pun kalau Anda berhasil memahami pesan saya. Selain ongkos kesehatan, pendidikan, orang tua Anda tentu sudah menyiapkan ongkos nakal. Maksudnya, orang tua memikirkan Anda perlu memberikan kelonggaran untuk berbuat nakal. Manfaatkanlah, sebab itu jerih payah orang tua Anda yang menyesal kenapa mereka tidak nakal sejak usia dini, kenapa tidak dulu-dulu?

Jangan ragu-ragu. Manfaatkan. Habiskan. Kalau perlu tombok!

Jujur, saya kurang bahkan tidak setuju anak-anak politikus sudah diajak dewasa terlalu cepat. Diajak jadi bijaksana sedari balita. Ikut program akselerasi pendidikan. Saya ikut merasakan penderitaan batin Anda yang terkekang dalam jeruji "nama baik". Anda berhak merasakan kenormalan dan kewajaran sebagai anak muda. Kadang baik, kadang meledak-ledak. 

Jangan tiru Gibran Rakabuming Raka, kalau Anda tidak ingin cepat menua. Misi Cawapres memaksanya menyesuaikan diri dengan gaya orang tua khas Orde Baru. Irit bicara, menahan emosi, dan kaku. Tirulah Kaesang Pangarep yang pelan-pelan merintis jalan kemerdekaannya. Saya sering melihat eksen Kaesang yang kurang lentur kadang gelagepan. Ia ingin tampil meriah dan heboh namun bingung juga kalau orang bertanya. Kaesang sepertinya tidak siap efek bombastis dari apa yang ia lakukan.

Misal, saat podcast ia bisa tiba-tiba mengenakan kaus bergambar Prabowo? Tanpa rentetan peristiwa yang jelas. Menimbulkan asumsi yang liar: apakah dukungan ke Prabowo? Apakah akan masuk Gerindra? Apakah politik dua kaki? Akhirnya, ketika tamu undangannya bertanya, ia nampak tergagap-gagap menjawab. Pun ketika Kaesang memandu acara reality show pun nampak tidak bisa lepas. Plong. Kadang butuh earphone. Sama seperti Kaesang memberi woro-woro di Youtube bahwa ia siap maju jadi Walikota Depok. Kaesang adalah gambaran split personality, perpaduan karakter bapaknya yang kalem tetapi dalam dirinya ingin blak-blakan. Apapun itu, saya turut berduka atas derita Kaesang yang (kayaknya) berusaha ingin orang tua memahaminya dan mengakuinya -- agak mirip dengan plot Naruto. 

"Iki lho aku ora cocok dapuran koyok ngene dadi politikus," barang kali itulah yang terbesit dalam benak Kaesang. Sekali lagi, barangkali....

Lupakan dulu Gibran dan Kaesang. Saya rasa Anda tidak memiliki tingkat keberuntungan secemerlang mereka. Jadi saya tidak mau membuat Anda berandai-andai terlalu tinggi. Masa iya anak Presiden RI yang modelnya kemaki tapi tetap sopan. Gayanya belagu namun selalu mendapat pemakluman. Istimewa! Ya, bagaimana? Saya kasih contoh, waraskah kira-kira saat Gibran berkostum juru parkir dengan bordir di bagian punggungnya "Petugas Parkir" saat pawai pembangunan? Jelas itu sindiran satire ke PDIP yang acap menganggap Jokowi dan Gibran ialah petugas partai. Dan lagi-lagi semua orang memaklumi. Bocil dinasti, bro!

Sekarang, saya ingin sarankan Anda bacalah puisi Khalil Gibran (namanya mirip Gibran Rakabuming Raka, namun sayang ia memilih jalur kemapanan daripada perjuangan). Puisi ini cukup fenomenal pada masa Orde Baru sebab Menteri Harmoko sempat geram, lantaran puisi ini konon mengajarkan individualisme dan liberalisme. Namun, percayalah pada saya, apa yang Menteri Harmoko katakan itu tidak benar. Omong kosong belaka. Resapilah puisi ini insyaallah hidup Anda akan tentram. Siapa pun, orang tua, bahkan diri Anda sendiri tidak bisa memaksa dan mengubah haluan hidup yang sejati. Puisi ini berjudul: Anakmu Bukanlah Milikmu.

Dan, perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata, bicaralah tentang anak-anak.

Dan, katanya:

Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.

Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.

Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.

Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.

Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.

Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.

Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.

Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.

Saya tidak sedang mengajak Anda bertaubat. Tetaplah nakal tidak apa-apa. Tirulah Mario Dandy. Atau jejak Tommy Soeharto. Tunjukkan jati diri Anda sebenarnya. Jangan setengah-setengah. Lebih cepat lebih baik. Kalau Anda memang orang jahat, Anda tidak perlu repot-repot melawan titah orang tua, karena rakyat tidak akan sudi pada Anda, pun orang tua Anda akan rasional hitung-hitungan matematis. Kalau Anda setengah hati, maka akan selamanya terkerangkeng dalam bayang-bayang orang tua.

Saya tidak ingin Anda bernasib sama seperti AHY. Bayangkan ia masih bersih, tak pernah terlibat dan tercatut kasus korupsi, namun ia belum pernah mencicipi nikmatnya kekuasaan. Bahkan pada saat sang bapak 10 tahun menjabat Presiden RI, belum terdengar ia menduduki jabatan staf, kepala daerah, atau menteri sekalipun. Yang terdengar AHY fokus menempa diri di dunia kemiliteran.

Memang saat ini AHY menjabat Ketua Umum Demokrat, akan tetapi antara keuntungan dan permasalahannya ada gap yang jauh. Bagaimana tidak? Belum lama menjabat ia mendapat tekanan dari Moedoko cs yang membuat Demokrat tandingan. Dan baru-baru ini, ia merasa ditikung oleh Anies Baswedan. Meski ini bukan kali pertama, seperti DeJavu pada saat AHY disalip Sandiaga Uno untuk mendampingi Prabowo Subianto sebagai Cawapres.

Berbeda dengan nasib adiknya, Ibas, namun tak perlu saya ceritakan huru-hara dan namanya santer berseliweran di masa akhir kekuasaan SBY. Ibas sudah tak terdengar lagi kasak-kusuknya, meski kadang muncul memberi pernyataan keras untuk sekadar mengisi daftar hadir, bahwa ia masih eksis. Ibas sekarang kokoh menduduki Ketua Fraksi Demokrat, ia sudah puas, katok, dan kini sedang bersemadi, mandito. Kalau teringat sorot mata Ibas seperti setengah mengantuk itu, mungkin kini ia benar-benar memejamkan mata.

Percayalah, Anda akan bebas, Anda akan merdeka, dan bisa melanjutkan hidup dengan wajar. Seperti pada umumnya. Sederhana. Tanpa kosmetik. Penuh ketulusan. Lama-kelamaan orang tua Anda akan bangga pada kalian, Anda berhasil melakukan revolusi mental terhadap diri Anda. Apalagi usaha keras Anda itu muncul bukan dari intervensi dan iming-iming orang tua, melainkan dari nurani atau mungkin akibat tekanan hukum atas ulah kejahatan Anda. Pelahan Anda akan mengerti bagaimana adil sejak dalam pikiran.  

Anjasmara, 7 September 2023

0 Komentar