Dok. Tempo |
Mas Agus, saya memahami perasaan Anda. Tentang kisah tidak sejalannya perkataan dan keputusan Anies. Menurut kabar yang saya ketahui, Mas Agus menerima pesan bertulis tangan dari Anies pada 25 Agustus 2023? Pesan tersebut sudah tersebar luas lewat jejaring media sosial. Berikut isinya:
"Mas AHY Yth
Semoga dalam keadaan sehat, tetap produktif, dan selalu dalam keberkahanNya.
Melalui pesan singkat ini, kami bermaksud menyampaikan harapan agar Mas AHY berkenan untuk menjadi pasangan dalam mengikuti Pilpres 2024
Teriring salam hormat."
Tak selang lama, Mas Agus membalas surat tersebut -- informasi ini saya peroleh dari Ketua Badan Pembina Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi, Herman Khaeron, yang melapor ke media (detiknews, 1 September 2023):
“Bismillahirrohmanirrohim tentu kami siap untuk bersama-sama memenangkan Pilpres 2024.”
Saya pribadi amat berduka, Mas Agus.
Pesan itu jelas sekali. Namun, apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Hanya saja, saya tidak menyarankan Mas Agus untuk bersabar. Bagi saya itu saran yang membosankan, Anda bisa menemukan kata-kata bijak dan ceramah untuk menangkap luapan perasaan Anda. Ada satu hiburan atau terapi yang ingin saya tawarkan, yang mungkin tak Anda temukan di sekitar hiruk pikuk kehidupan metropolitan, Mas.
Sebenarnya saya acap bertanya-tanya, apa sih hiburan seorang politikus? Jika menelisik dari sisi latar belakang, kalau politikus itu pernah mondok, biasanya kalau hati sedang kalut ia akan nyekar atau ziarah ke suatu makam, membaca wirid, Quran, dan berdiam diri dalam keheningan. Dan kalau politikus dari kalangan abangan, mungkin akan memilih jalur hiburan sekuler, seperti karaoke, main golf, lari pagi, atau malah mancing. Jujur, bagi saya kesemuanya klise. Kesemuanya tidak cocok buat Mas Agus. Mas Agus perlu terapi sekaligus hiburan yang otentik. Bukan temporal belaka, melainkan parmanen sekaligus paripurna.
Dahulu, sebelum Orde Lama tumbang, ada sebuah organisasi sosio-politik yang getol melakukan pendampingan terhadap masyarakat secara cuma-cuma. Mereka berpenampilan sederhana, bicaranya luwes, dan mudah sekali diterima masyarakat. Sama sekali tak memiliki jarak. Ide-ide mereka gampang diserap. Seperti, orang lapar berarti dikasih makan makanan yang sehat; orang haus dikasih minum minuman yang bersih; buta huruf maka harus diberi pengetahuan; membongkar watak inlander dan menyadarkan sebagai warga dunia yang setara. Ide mereka amat sederhana, tidak muluk-muluk berteori seperti kaum cendekiawan di khayangan, mereka mampu menjawab masalah kemiskinan dengan gamblang: laksanakan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Organisasi ini tidak terlalu percaya takhayul, mereka tidak mempercayai hantu. Toh misalkan mereka percaya pada hantu, hantu bagi mereka adalah hantu yang kasat mata, perawakannya tak selalu mengerikan, menakutkan, tapi kadang manis dan ramah. Suara hantu ini tidak melingking dan histeris bak Kuntilanak di film-film horor, kadang merdu dan mendayu-dayu, seperti sepoi tiupan angin yang lirih di pantai. Spesies hantu ini lihai dan lentur bergumul dengan masyarakat.
Sebab hantu-hantu ini lama-lama meresahkan, membuat gonjang-ganjing, menyeret-nyeret masyarakat ke jurang kemiskinan. Organisasi ini akhirnya memutuskan: melakukan penelitian participation action research. Metode penelitian yang sekarang banyak diadopsi kampus-kampus, hingga bank dunia. Mereka menemukan hipotesis dan membagi hantu-hantu dalam tujuh jenis: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat, dan bandit desa. Setiap hantu kadang bisa saudara dekat atau orang asing sekalipun.
Mungkin Mas Agus tentu sudah tahu organisasi apa yang saya maksud. Namun di luar itu. Saya boleh menyarankan Mas Agus sesekali, sehari atau dua hari, dan mungkin beberapa hari kalau kerasan, tinggal hidup di desa. Pilihlah desa yang nyaman untuk Mas Agus, kalau bisa bukan Pacitan atau daerah yang sudah familiar. Berangkatlah sendiri atau ajak Sekjend Anda, Teuku Riefky Harsya, bilang saja padanya Anda mengajak liburan, sumpek dengan keruwetan politik, supaya Mas Agus dan Sekjend bebas tak selalu perlu tersorot kamera. Kekalutan hati Mas Agus ini ibarat malam yang panjang dan kabut yang kelabu, fajar tak perlu selalu disongsong, nikmati sajalah. Pilihan berlibur ke desa adalah tepat. Saya percaya fajar itu tak perlu Anda jemput, tetapi fajar itulah yang akan mendatangi Mas, dan memenuhi Cikeas dengan cahaya.
Anjuran saya ini bukan main-main lo, Mas, ini mempunyai akar historis. Jadi dulu terkenal ada istilah "Turba" atau turun ke bawah atau turun ke basis atau apalah suka-suka saja. Kelak, saat Mas Agus melaksanakan Turba, praktikkanlah prinsip 3 sama, 4 jangan, dan 4 harus. Prinsip “3 sama” di antaranya: sama bekerja, sama makan, dan sama tidur. Kalau “4 jangan”: jangan tidur di rumah kaum penghisap di desa, jangan menggurui kaum tani, jangan merugikan tuan rumah dan kaum tani, dan jangan mencatat di hadapan kaum tani. Sementara “4 harus”: harus melaksanakan “3 sama” sepenuhnya; harus rendah hati, sopan santun, dan suka belajar dari kaum tani; harus tahu dan mengenal adat istiadat setempat; harus membantu memecahkan masalah tuan rumah, kaum tani, dan organisasi setempat (1964).
Sebuah lembaga kesenian pernah melakukan Turba, dengan patuh melaksanakan prinsip "3 sama", ke basis masyarakat mendengar keluh kesah dan merasakan denyut nadi kehidupan secara riil. Hersri Setiawan (2001), salah seorang peserta Turba itu menceritakan pengalamannya, katanya:
"Suatu ketika saya ikut bersama beberapa teman Pelukis Rakyat Yogya (antara lain Martean Sagara, S. Trisno, Wijayakusuma) dan Pelukis Rakyat Semarang (Harno dan Yohed Mundja), turba ke kampung nelayan di Tambak Lorok. Di pagi hari para pelukis ini larut dalam keramaian tengkulak berebut keringat nelayan dengan “tuan ikan”, di siang hari mereka asyik melukis atau membuat sketsa perahu-perahu nelayan, di malam hari kami menonton permainan teatral yang mereka namai “sandiwara rakyat”. Satu genre pergelaran lakon tentang peri kehidupan sendiri, tanpa polesan dan tanpa pretensi, bermain di atas “panggung” yang telanjang, adegan demi adegan mengalir — seperti lenong Betawi di Pasar Rumput 50-an awal — dan menggelombang seperti angin dan gelombang laut nafas keseharian mereka."
Ngomong-ngomong Hersri Setiawan ini seniman dan penulis buku "Awan Teklek, Mbengi Lemek". Buku yang tepat menemani kegundahan hati sekaligus goncangan batin Mas Agus. Buku yang tidak hanya menyoal pengkhianatan, hipokrit, juga diskriminasi yang meluas di mana-mana. Hesri melanjutkan kisah pengalamannya selama Turba:
“Lakon malam itu melukiskan bagaimana nelayan suami, yang telah tergadai pada tuan ikan, bersabung di tengah lautan, sementara nelayan istri sadar tapi tanpa daya melayani nafsu tuan ikan. Saya teringat pada lakon Motinggo Boesje “Malam Jahanam” (1958). Tapi seniman rakyat Tambak Loro itu, tak tega menjahanamkan istri mereka sendiri: “Lintang Tambak Lorok”.”
Sayang organisasi tersebut sudah bubar dan dilarang bercokol di negeri ini. Namun tidak jadi soal. Mas Agus bisa memulai Turba dengan versi sendiri. Tidak melulu harus mengikuti sesuai doktrin dan sejarah. Lagian tidak mungkin mengulang masa lalu.
Saya rasa setelah Mas Agus melaksanakan Turba dengan penuh khidmat, pasti menemukan semangat berjuang kembali. Terlebih penting insting politik Mas Agus akan jauh lebih terasah. Kesejahteraan tak pernah berpihak pada si miskin. Si miskin memperjuangkannya dengan darah dan air mata. Si miskin akan mengajari Mas Agus bagaimana diplomasi dan deal politik yang sesungguhnya. Bukan basa-basi dan cuma lip service.
Dan Mas Agus akan bertanya-tanya, mengapa tak si miskin atau kaum tani saja yang jadi Ketua Umum Demokrat? Mas… ini bukan soal siapa yang mampu, melainkan siapa yang mendapat kesempatan. Kesempatan itu dan Dewi Fortuna masih menyertai Mas Agus.
Mas Agus, tertarik? Cobalah sekarang….
Semarang, 4 September 2023
0 Komentar